Ebook Bela Islam Atau Bela Oligarki - Anto Sangadji, dkk.


Judul Ebook : Bela Islam Atau Bela Oligarki

Tebal Ebook : 92 Halaman

Bahasa           : Indonesia

DEMONSTRASI besar-besaran berlangsung pada 4 Nopember 2016. Penggeraknya menamakan diri Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GN-PF-MUI). Demonstran menuntut agar aparat hukum segera memproses kasus pidana penistaan agama, yang menurut fatwa MUI bertanggal 11 Oktober 2016, telah dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ratusan ribu orang turun ke jalan. Tak cuma ulama dan umat kebanyakan, tapi ada juga artis dan politisi nasional. Puluhan ribu aparat polisi pun di- kerahkan mengamankannya. 

Peristiwa yang oleh penggeraknya dinamai ‘Aksi Bela Islam’ tersebut menarik perhatian banyak pihak. Bukan hanya karena begitu besarnya massa yang turun ke jalanan ibukota, tapi juga, bagi sebagian orang, karena persoalan lebih dalam menyangkut ekonomi-politik di balik hiruk-pikuk massa demonstrasinya. Bagi Azhar Irfansyah dan Muhammad Azka Fahriza1 , Aksi Bela Islam membuka tabir watak politis kelas menengah urban Indonesia yang sok tertib, sok santun, sok konstitusional, dan jijik pada segala bentuk aksi massa. Kritik mereka terhadap Aksi Bela Islam tak lebih dari keluh-kesah soal macet, sampah, dan taman yang rusak. Mereka tak sanggup melihat perso-alan lebih dari apa yang dilihat mata telanjang dan didengar telinga mereka. Buat mereka, Aksi Bela Islam tak lebih dari kebisingan yang mengganggu kenyamanan. Mereka sama sekali tak terusik oleh bahan bakar di balik api demonstrasi itu, yakni “neoliberalisasi ekonomi yang membawa ekses pada kehidupan sehari-hari nan keras masyarakat urban”. Luka ketimpangan ekonomi yang memang telah menganga dan makin bernanah oleh kebijakan-kebijakan penggusuran Ahok, tak pernah jadi perhatian mereka. Padahal, lingkungan ngeri yang neoliberalisme ciptakan itu punya andil dalam memupuk lahan bagi suburnya semak-semak politik massa dengan identitas agama sebagai perekatsolidaritasnya.

Aksi Bela Islam adalah kenyataan. Peristiwa itu menyegarkan kembali im-ajinasi politik kita bahwa gerakan Islam di Indonesia itu tetap sehat wal afiat meski tak lagi tinggal di dalam partai politik. Kita tak perlu mempersoalkan hidupnya gerakan Islam. Termasuk yang maujud ke dalam aksi-aksi massa. Tak perlu pula kita khawatir soal penggunaan agama sebagai alat politik. Yang perlu dikhawatirkan ialah kenyataan bahwa gerakan Islam di Indonesia masih terjebak di lumpur yang sama yang melahirkan gerutu kelas menengah terhadap aksi massa, yakni kegamangan dalam menghadapi kencangnya arus neoliberalisme dengan penyesuaian struktural membabi-butanya, seperti yang selama ini ditampilkan oleh kebijakan-ke- bijakan penggusuran yang Ahok jalankan. Bagi kelas menengah urban, kebijakan-kebijakan itu riak wajar dari sungai pembangunan yang akan membawa semua orang ke kemakmuran. Sementara bagi kaum miskin kota, pekerja rentan, dan kumpulan lumpenproletariat yang diciptakan kapitalisme, dan dalam amatan Anto Sangadji2 dan Ian Wilson3 menjadi kentang-kentang dalam sekarung kentangnya Aksi Bela Islam kemarin, kebijakan-kebijakan itu dipahami sebagai kebijakan Cina dan kafir karena (kebetulan) Ahok adalah seorang Nasrani dan keturunan Tionghoa pula.

Kegamangan massa gerakan Islam dalam menemukan sasaran tembak lebih dalam ketimbang permukaan atas persoalan yang dialami umat awam di tengah ketimpangan ekonomi dan kemiskinan mereka yang makin diperparah oleh semaraknya cara pandang dan perilaku individualistikatas konsep ibadah di kalangan kelas menengah Muslim, menunjukkan betapa dangkalnya pemahaman para penyeru gerakan Islam akan akarakar persoalan yang adanya di balik segala tampakan data statistik dan hiruk pikuk konsumsi4. Satu-satunya hal yang membuat mereka bergerak hanyalah ketika identitas agama mereka terusik. Umat hanya mudah terbakar emosi ketika seorang non-Muslim menghina ayat Al-Quran dan akan merasa paling beriman ketika menuntut keadilannya dengan turun ke jalan bersama ribuan sesamanya. Tapi, mereka tak terluka imannya sama sekali ketika petani-petani Kendeng (yang juga Muslim) berjuang melawan keserakahan korporasi yang hendak mengambil petak-petak tanah pertanian tempat mereka menggantungkan hidup hanya karena dianggapnya tak ada ayat yang dihinakan. Padahal, bukankah korporasi telah mendustakan firman Allah SWT dengan berbuat kerusakan di muka bumi (QS Al-A’raf 56) sambil memakan harta orang lain dengan cara yang dzalim (QS Al-Baqarah 188)?






 BACA ONLINE Anto Sangadji, dkk
 "jika link download bermasalah tolong tinggalkan komentar"
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments