Ebook Sengketa Tiada Putus - Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau - Jeffrey Hadler


Judul Ebook : Sengketa Tiada Putus - Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau

Tebal Ebook : 415 Halaman

Bahasa           : Indonesia

Seorang peneliti Indonesia dari luar bisa dimaafkan kalau mengira bahwa dua budaya besar Nusantara adalah Jawa dan Minangkabau. Apabila kita menyimak nama-nama dalam buku-buku sejarah atau membuat daftar orang-orang yang telah membentuk budaya nasional, kedua kelompok etnik ini akan terlihat menonjol. Pakar-pakar kolonial Belanda menempatkan orang Minangkabau dari Sumatra Barat—dianggap dinamik, berwawasan ke luar, dan bertauhid sebagai imbangan terhadap orang Jawa yang feodal, involutif, dan sinkretik keagamaannya.

Selama masa revolusi (1945-1949), orang Indonesia menciptakan istilah Dwitunggal untuk menyebut kepemimpinan presiden Sukarno dari Jawa dan wakil presiden Mohammad Hatta dari Minangkabau. Dwitunggal ini menandakan keseimbangan antara Jawa dan kepulauan luar, dan perpecahan di kalangan para pemimpin pada 1956 menciptakan suatu keterbelahan nasional yang sampai hari ini belum tersembuhkan.

Para intelektual Minangkabau pada awal abad ke-20 memainkan peran utama dalam pergerakan nasionalis dan pergerakan Islam, dan merekalah penentu sastra dan budaya Indonesia. Peta jalan kota mana pun di Indonesia pastilah berisi jalan-jalan raya dengan nama Haji Agus Salim (lahir 1884), nega- rawan dan menteri luar negeri; Mohammad Hatta (lahir 1902), wakil presiden pertama; Muhammad Yamin (lahir 1903), filsuf nasionalis; Muhammad Natsir (lahir 1908), politikus Islam; Hamka (lahir 1908), ulama; Sutan Sjahrir (lahir 1909), sosialis dan perdana menteri pertama; Rasuna Said (lahir 1910), pemim- pin revolusioner dan politikus; dan, bila sensor Soeharto lalai, Tan Malaka (lahir 1896), filsuf revolusioner komunis. Rakyat Minangkabau sangat bangga akan pemimpin-pemimpin generasi pertama ini beserta sejumlah besar politikus, ulama, dan cerdik cendekia Minangkabau yang kurang terkenal tapi yang juga punya peran penting dalam sejarah Indonesia. Jadi, adalah menakjubkan bahwa ternyata pada 1930 orang Jawa mencapai 47 persen penduduk Hindia Timur Belanda. Ditambah lagi orang Sunda di Jawa Barat dan Madura—ketiga kelompok etnis yang bersama-sama dipandang negara sebagai jantung budayanya maka jumlahnya mencapai 70 persen penduduk. Pada masa itu, orang Minangkabau hanya 3,36 persen penduduk Hindia, kurangdari dua juta orang.

Mengingat dominasi orang Jawa ini, adalah mengherankan bahwa orang Minangkabau, suatu wilayah kecil dan marginal dalam suatu kepulauan besar, begitu meraksasa dalam sejarah nasional. Jumlah besar orang Minangkabau dalam daftar orang-orang ternama Indonesia belum pernah terjelaskan dengan memuaskan.






 BACA ONLINE Jeffrey Hadler
 "jika link download bermasalah tolong tinggalkan komentar"
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments