Surat Kepada Kanjeng Nabi [Download pdf] - Emha Ainun Nadjib


Judul Ebook : Surat Kepada Kanjeng Nabi

Tebal Ebook : 505 Halaman

Bahasa           : Indonesia

Anugerah Adam Malik yang saya terima beberapa waktu lalu (te-patnya, 5 September 1991—ed.) cukup mengagetkan saya sendiri. Lumayan juga saya masih dianggap sastrawan, meskipun jumlah puisi saya sudah ratusan dan saya membacakan puisi di depan orang banyak rata-rata dua kali seminggu. Sebenarnya ini bahan untuk nyombong sedikit: coba cari penyair di dunia ini yang baca sajak sesering saya. Tetapi, insya Allah saya nyombong cukup tiga menit, sesudah itu merasa nol lagi.

Saya ini belum sastrawan, saya masih “dendam” untuk pada suatu saat bisa melahirkan—atas izin Allah—karya sastra yang serius dan “besar”.

Tetapi secara khusus, anugerah ini mencerminkan bahwa di Indonesia objektivitas masih hidup, kejernihan dan keadilan pandangan masih ada yang memelihara. Tidak semua pihak bersikap objektif, mau benarnya sendiri, dan bertindak sewenang-wenang kepada orang yang berbeda pendapat dengannya.

Saya tidak pernah mendapat penghargaan resmi dan institusional seperti ini. Penghargaan yang saya terima selama ini tecermin dari frekuensi perhatian masyarakat dan lembaga-lembaga sosial terhadap kegiatan saya yang membuat saya benar-benar “tak punya waktu untuk diri sendiri” selama bertahun-tahun.

Sebenarnya ada dua format. Pertama, sastra sebagai karya sastra itu sendiri, baik yang dipublikasikan di media massa atau yang dibukukan. Kedua, sastra sebagai metode. Saya menjalani tugas-tugas sosial, budaya, politik, dan keagamaan selama ini, sebenarnya dengan “disiplin sastra”. Tanpa bantuan sastra, langkah komunikasi saya akan sangat terbatas. Dengan sastra, di samping saya dapat menemukan berbagai format komunikasi, saya juga tetap bisa memelihara pandangan terhadap dimensi-dimensi kedalaman manusia dan masyarakat, yang biasa diperdangkal oleh mata pandang parsial: ekonomi, politik, dan terutama kekuasaan praktis.

Mungkin memang perlu. Tetapi yang lebih perlu adalah “perjuangan objektivitas”. Itu dimensi “keadilan” dalam konteks ilmu. Selama ini di negara kita, orang yang perlu dihargai malah dicurigai dan dibuang-buang, sementara banyak orang yang sebenarnya merugikan negara dan bangsa malah mendapat fasilitas dan posisi yang berlebihan. Mata kita ini rabun, baik mata ilmu, mata budaya, dan apalagi mata politik kita.

Insya Allah dalam dua-tiga tahun mendatang bisa lahir karya sastra saya yang lebih berbobot dibanding sekarang. Sekarang ini merupakan era kulminasi dari kebobrokan peradaban. Potensi kesastraan dalam diri orang-orang berbakat masih sedang “umup”. Diperlukan waktu untuk “matang”, kemudian mengendap dan menetes kelahirannya.

Kejadian apa saja harus diolah untuk memacu kreativitas. Gembira, ya harus kreatif; sedih, ya kreatif. Bebas, ya kreatif; kena cekal, ya kreatif. Kaya, ya kreatif; miskin, ya kreatif. Semua adalah rahmat Allah bagi saya. Tidak ada musibah, semua rezeki. Dengan syarat, kita menggali ilmu dari Allah untuk mengkhalifahinya. Maksud saya: Menggenggam tanah menjadi emas.

 BACA ONLINE Emha Ainun Nadjib
 "jika link download bermasalah tolong tinggalkan komentar"
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments