Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil [Download pdf] - Mohammad Fajrul Falakh


Judul Ebook : Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil

Tebal Ebook : 87 Halaman

Bahasa           : Indonesia

ISLAM tradisional Indonesia, yang terorganisir ke dalam NU sejak tahun l926, merupakan fenomena yang unik di dunia Islam. NU sendiri sesungguhnya merupakan suatu perhimpunan "ulama fiqh" (para ulama yang berpengetahuan luas dalam yurisprudensi Islam) dan ulama tarekat (sufi). Organisasi ini pernah aktif berpo litik dan merepresentasikan 18% pemilih Indonesia. Di Pakistan misalnya yang merupakan negeri Islam terdekat dengan dominasi Islam serupa tidak terdapat formasi yang mirip NU itu. Ia lebih mirip dengan kelompok tradisional Baralvis dari segi doktrin namun lebih dekat dengan kelompok reformis Deobandis dari segi struktur organisasinya karena itu NU berada di antara dua gerak- an ini.

NU bukan semata-mata Organisasi para ulama, begitu pula setelah ia menjadi partai politik pada tahun 1952 Ia merupakan suatu perkumpulan dengan kebiasaan memilih yang sama. Sebagaimana dicatat Geertz partai-partai politik (santri Jawa) lebih merupakan organisasi sosial, ukhuwah dan keagamaan dengan ikatan-ikatan kekeluargaan ekonomi dan ideologi yang bergabung untuk menekankan komunitas rakyat ke dalam dukungan jaringan tunggal nilai-nilai sosial yang tidak hanya bcrkaitan dengan penggunaan yang tepat terhadap kekuasaan politik namun juga kondisi perilaku dalam wilayah kehidupan yang berbeda banyak (Geertz 1960: 163).1 NU merupakan jaringan solidaritas pedesaan yang besar terdiri dari petani para pedagang kecil, para profesional dan para pejabat keagamaan setelah tahun 1952, ia merangkul para politisi yang memiliki latar belakang yang lebih beragam. Di kemudian hari urbanisasi telah menghasilkan penyerapan penduduk kota yang berlatarbelakang pedesaan. Selanjutnya NU tidak hanya terdiri dari orang-orang kolot atau ketinggalan zaman, namun para pemimpinnya yang muda dan terdidik menunjukkan kecenderungan-kecenderungan yang modern. Sebagian mereka adalah anak-anak kiai(2 yang terdidik, sedangkan yang lainnya merupakan orang-orang luar yang merasa mempunyai missi untuk memodernisasi partai "yang ketinggalan zaman itu" (Geertz 1960: 163. 371)

Sejauh ini tidak ada studi yang mendalam terhadap pemikiran politik NU.3 Para ahli Indonesia, seperti Anderson dan Ward telah menunjukkan kurangnya studi tentang NU (Anderson 1977: Ward 1974:90). Dalam sebuah monograf tentang pemilu 1971, ward merupakan orang pertma yang melakukan analisis terhadap motif-motif keagamaan di balik perilaku politik NU yang digambarkan secara umum sebagai "oportunistik" atau "akomodatif' (Ward 1374: 93). Pada tahun 1977, Ben Anderson mencatat bahwa NU pada hakikatnya merupakan suatu organisasi keagamaan yang tidak memiliki gagasan apapun tentang "integrasi regional, nasionalisasi industri dan kebijaksanaan luar negeri, namun paling berkepentingan terhadap isu-isu keagamaan murni dan sangat berhasil dalam membela "kelompok inti (inner core) mereka sendiri" (Anderson 1977: 24). Secara tidak langsung Anderson mengatakan bahwa suatu gerakan Islam besar relatif berhasil bertahan di bawah rezim Orde Baru Soeharto yang dianggap sekuler oleh sebagian besar sarjana. Mitsuo Nakamura kemudian menegaskan bahwa NU lebih tertarik pada isu-isu keagamaan ketimbang isu-isu politik dan menunjukkan meningkatnya keluasannya terhadap politik (Nakamura 1961).

Keputusan NU tahun 1984 untuk meninggalkan partai Islam, PPP, dan menerima ideologi Pancasila sebagai asas tunggal dalam Anggaran Dasarnya, telah menambah perspektif baru bagi pemikiran politik gerakan tersebut. Dalam tulisan ini, saya berusaha menganalisis bagaimana NU menerima ideologi nasional sebagai "asas tunggal" dan apa dampak tindakan tersebut saya akan mulai dengan melukiskan hubungan NU dengan negara pada momen-momen kunci sejarahnya: tradisi sunni tentang legitimasi negara telah diperkuat oleh persamaan-persamaan, termasuk persamaan etnis dengan para nasionalis sekuler. Bagian kedua akan disediakan untuk menilai dampak reorientasi 1984. Telah dinyatakan bahwa saat ini menjadi tahun-tahun klimaks dari upaya sekularisasi dan depolitisasi Islam yang digambarkan lebih dulu oleh banyak sarjana (MacVey 1982: 86; Jenkins 1984: 12; Wertheim 1986: 49; Railton 1989: 34). Pengamatan lapangan saya pada tahun 1991 dan 1992 menunjukkan kontradiksi bahwa NU telah memperoleh legitimasi baru dan sebagian hasilnya ia kembali memperoleh kepercayaan umat. Kehidupan keagamaan nampak lebih meningkat ketimbang yang pernah ia lakukan pada tahun 1970-an. Kecenderungan ini didukung oleh pengamatan-pengamatan mutakhir tentang Islamisasi di Indonesia (Elefner 1985, 1987; Abdullah 1987; Pranowo 1991).

 BACA ONLINE Mohammad Fajrul Falakh
 "jika link download bermasalah tolong tinggalkan komentar"
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments