Islamku Islam Anda Islam Kita [Download pdf] - Abdurrahman Wahid

............................................................................
Judul Ebook  : Islamku Islam Anda Islam Kita
Tebal Ebook   : 375 Halaman
Bahasa : Indonesia
...........................................................................

Tentu saja saya agak sedikit terkejut dengan tawaran mantan pre­si­den RI ke empat ini, meskipun senang juga karena Gus Dur bersedia meluangkan waktunya di tengah kesibukannya me­la­­ya­ni ummat. Bagi se­orang mantan wartawan seperti saya, tak ada masalah di mana pun tempat wawancara. Yang penting ada­lah kese­dia­an narasumber untuk diwawancara. Namun yang se­dikit agak merisaukan saya justru pergi ke luar naik mobil de- ngan Gus Dur itu. Saya khawatir, orang-orang yang ingin ber­te- mu dan sudah cukup lama menunggu itu akan kecewa karena me­re­ka mengira Gus Dur akan pergi, sementara mereka sudah cukup lama menunggu. “Tapi ba­gaimana dengan orang-orang yang sudah cukup lama me­nung­gu itu. Nanti mereka kecewa karena mengira Gus Dur akan pergi. Wawancara di sini juga nggak apa-apa,” kata saya. “Ah, ndak ada masalah. Mereka kan bisa menunggu, Munib sudah mem­beri tahu mereka, dan mereka maklum. Lagi pula Anda kan datang dari Australia dan waktu Anda di sini tidak banyak,” kata Gus Dur. Ak­hir­nya saya pun tak dapat menolak ajakannya. Bersama sopirnya, kami ber­dua berkeliling naik mobil, berputar-putar di kawasan Ciganjur dan Pasar Minggu.

Benang merah yang sangat penting dari pemikiran Gus Dur adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syari­’ati­sasi Islam. Sebaliknya, Gus Dur melihat bahwa kejaya­an Islam justru terletak pada kemampuan agama ini untuk berkembang secara kultural. Dengan kata lain, Gus Dur lebih mem­berikan apresiasi ke­pada upaya kulturalisasi (culturaliza-tion). Itu terlihat dengan jelas, misalnya, dari serial tulisannya yang berjudul “Islam: Ideologis Atau­kah Kultural”. Ketidak setujuan Gus Dur terhadap formalisasi Islam itu terlihat, misalnya terha­dap tafsiran ayat Al Qur’an yang berbunyi “udhkuluu fi al silmi kaffah”, yang seringkali ditafsirkan secara literal oleh para pen­du­kung Islam formalis. Jika kelompok Islam formalis yang me­naf­sirkan kata “al silmi” dengan kata “Islami”, Gus Dur me­naf­­sir­kan kata tersebut dengan “perdamaian”. Menurut Gus Dur, kon­­sekuensi dari kedua penafsiran itu punya implikasi luas.  Mere­ka yang terbiasa dengan formalisasi, akan terikat kepada upaya-upaya untuk mewujudkan “sistem Islami” secara fundamen­tal dengan meng­abaikan pluralitas masyarakat. Aki­bat­nya, pemahaman seperti ini akan menjadikan warga negara non-Muslim menjadi warga ne­ga­ra kelas dua. Bagi Gus Dur, untuk menja­di Muslim yang baik, se­orang Muslim kiranya perlu menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam se­ca­ra utuh, me­no­long mereka yang memerlukan pertolongan, me­negak­kan pro­fe­sio nalisme, dan ber­sikap sabar ketika menghadapi cobaan dan ujian. Konsekuensinya, mewujudkan sistem Islami atau formalisasi tidaklah menjadi syarat bagi seseorang untuk diberi predikat sebagai muslim yang taat.

Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman yang membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipak­sakan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan se­gala sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi. Dan dengan sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa. Nah, pemaksaan kehendak itu sering diwujudkan dalam apa yang dinamakan “ideologi-lslam”, yang oleh orang-orang tersebut hendak dipaksakan sebagai ideologi negeri ini. Karenanya, kalau kita ingin melestarikan “Islamku” maupun “Islam Anda”, yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan ideologi negara melalui Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah hal-hal esensial yang menjadi keprihatinan kaum mus­li­min, mela­lui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima seba­gai “Islam Kita”, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemak­saan pandangan? Cukup jelas, bukan?

Kedua, agama Islam selama ini telah menjadi korban dari sekian banyak anggapan. Karenanya diperlukan “keberanian moral” untuk memulai koreksi atas kesalahan demi kesa­lah­an yang telah terjadi, guna menghindari terulangnya hal itu di masa depan. Bukankah tidak ada yang lebih baik untuk “me­mu­lai” deretan responsi, selain menerangkan masalah sebenar­nya dari pernyataan Lee Kuan Yew itu? Melalui sebuah responsi yang se­­­hat, yaitu dengan mempertanyakan dasar-dasar apa yang digu­nakan Lee Kuan Yew untuk menyusun pernyataannya itu. Begitu juga tinjauan “dari dalam” Islam sendiri, adalah sesuatu yang sangat pen­ting guna “membaca” kebenaran sebuah pernyataan “orang luar.” Tulisan ini justru dikemukakan dengan tujuan memperoleh pandangan yang tepat tentang gerakan radikal Islam di nege­ri kita.

 BACA ONLINE Abdurrahman Wahid
 "jika link download bermasalah tolong tinggalkan komentar"
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments